The Magic of Prayer and Forgiveness:
oleh Adi W. Gunawan,
"If the only prayer you say in your whole life is `Thank You', that
would suffice."~ Meister Eckhart
Sabtu pagi minggu lalu saya dijemput oleh kawan saya, salah satu
pimpinan bank nasional papan atas, untuk bersama-sama menuju tempat
pelatihan di luar kota Surabaya . Kawan saya ini meminta saya
mengajarkan materi Manage Your Mind for Success untuk stafnya. Namun
bukan materi pelatihan yang ingin saya ceritakan di artikel ini. Ada
satu topik menarik yang sempat kami diskusikan, selama perjalanan,
yaitu mengenai doa.
Kawan saya ini bercerita bahwa ia telah beberapa kali berhasil
mencapai goal-nya tanpa harus berdoa seperti orang pada umumnya. Saya
lalu menggali lebih lanjut dan bertanya, "Kalau tidak berdoa, seperti
kebanyakan orang, lalu apa yang Bapak lakukan?"
"Ya itu... saya juga bingung. Saya hanya punya keinginan atau harapan
saja. Nggak pernah berdoa sampai minta-minta sama Tuhan. Misalnya
saat saya ingin pindah dari Jakarta ke Semarang. Saya lalu
menyampaikan hal ini ke pimpinan saya. Permintaan saya disetujui.
Namun setelah saya pikir-pikir lagi, akan jauh lebih baik, melihat
peluang pasar yang ada, kalau saya pindah ke Surabaya. Nah, pas hari
H saya mau pindah, eh.. pimpinan saya malah memindahkan saya ke
Surabaya. Padahal saya nggak pernah ngomong kalau mau ke Surabaya
karena saya merasa sungkan. Lha, permintaan saya kan ke Semarang,"
jelas kawan saya ini.
Kawan saya lalu menceritakan beberapa kejadian lain yang ia alami
yang tampaknya bersifat kebetulan saja. Apa yang ia harapkan ternyata
benar-benar terjadi. Dan ini ia dapatkan dengan mudah.
Nah, pembaca, sebelum saya bercerita lebih jauh saya ingin mengajukan
beberapa pertanyaan pada anda, "Apakah anda rajin berdoa? Apakah doa
yang anda panjatkan kepada Sang Hidup, Tuhan, atau Sang Maha
Pencipta, sering, jarang, atau malah nggak pernah terkabul? Pernahkah
anda bertemu dengan kawan anda yang jarang "berdoa" namun kualitas
hidupnya jauh lebih baik dari Anda? Tuhan ini benar-benar adil atau
nggak, sih?"
Saya percaya 1.000% bahwa Sang Hidup, Tuhan, atau Sang Maha Pencipta
bersifat adil seadil-adilnya. Hal ini saya imani dan saya amini
dengan sepenuh hati. Sama sekali tidak ada keraguan dalam hati saya
mengenai hal ini. Bagaimana dengan Anda?
Namun, mengapa ada banyak doa yang tidak mendapat jawaban? Mengapa
ada orang yang tampaknya nggak "spiritual" tapi kok ya hidupnya jauh
lebih baik dari orang yang mengaku "spiritual"?
Dulu, pertanyaan yang sama sangat mengganggu pikiran saya. Saya
berusaha mencari jawabannya. Dan, setelah mencari cukup lama saya
akhirnya sampai pada satu kesimpulan, yang menurut saya pribadi,
merupakan kunci bagi doa yang cespleng.
Saya berangkat dengan satu keyakinan bahwa Tuhan bersifat adil dan
akan selalu menjawab setiap doa kita, seperti yang tertulis di kitab-
kitab suci, "Ketuklah maka pintu akan dibukakan", "Mintalah kepadaKU
niscaya akan Aku berikan."
Pertanyaannya adalah "pintu" mana yang harus kita ketuk dan bagaimana
kita meminta (baca: berdoa) dengan benar?
Pintu memang harus diketuk dan dibuka. Pintu yang dimaksud di sini
adalah pintu hati (nurani) kita. Dan yang harus mengetuk dan
membukanya adalah kita sendiri. Pintu hati dibuka dari dalam, oleh
diri kita sendiri, bukan oleh orang lain dari sebelah luar. Banyak
orang yang salah mengartikan "Ketuklah maka pintu akan dibukakan"
dengan berharap bahwa akan ada "seseorang" yang akan membukakan pintu
itu bagi mereka. Lebih parah lagi kalau kita sampai berpikir bahwa
adalah tugas orang lain untuk mengetuk pintu hati kita.
Lalu, bagaimana dengan pernyataan "Mintalah kepadaKU niscaya akan Aku
berikan"? Saya melihat banyak yang salah mengartikan pernyataan ini.
Benar kita bisa atau boleh berdoa dan memohon/meminta kepada Yang
Kuasa. Namun mengapa seringkali doa kita tidak terjawab? Pasti ada
yang kurang pas atau salah dengan cara kita meminta, kan?
Ada dua tahap yang harus diperhatikan agar doa kita bisa benar-benar
cespleng. Bicara mengenai doa sebenarnya bukan hanya menyangkut apa
yang kita panjatkan atau ucapkan. Bila kita berdoa, yang paling
berpengaruh, saya ulangi dan tekankan, yang paling berpengaruh,
adalah suasana hati atau perasaan kita, bukan kata-kata yang kita
susun dengan sedemikian indah seperti syair. Doa masuk dalam ranah
rasa/afeksi bukan semata-mata urusan kognisi.
Langkah pertama, sebelum kita bisa berdoa dengan baik, benar, dan
tulus adalah dengan membersihkan hati dan pikiran kita dari muatan-
muatan emosi negatif. Bagaimana caranya? Dengan membuka pintu maaf
selebar-lebarnya. Dengan memaafkan.
Memaafkan mengandung makna kita melepas semua beban pikiran, semua
luka batin atau pengalaman traumatik dari masa lalu, semua perasaan
diri kotor dan tidak berharga, ketakutan, iri-dengki, kemarahan, dan
berbagai emosi negatif lainnya.
Setelah kita mampu memaafkan barulah kita melanjutkan ke langkah
kedua yaitu kita harus yakin dan percaya bahwa Sang Hidup, Tuhan,
atau Sang Maha Pencipta telah menyediakan apapun yang kita perlukan,
dan saat ini kita telah mendapatkannya. Jadi, ini sebenarnya sama
seperti saat kita melakukan afirmasi atau visualisasi. Yakinlah kalau
apa yang kita impikan atau inginkan sudah berhasil kita raih.
Kapan doa kita dikabulkan? Nah, kalau yang ini urusan Yang Atas.
Semua butuh proses. Kita nggak bisa main paksa. Semua ada waktunya.
Intinya, kita perlu mengembangkan perasaan yakin, syukur, dan pasrah
bahwa semua hal yang baik akan terjadi dalam hidup kita.
Apa dan siapa saja yang perlu kita maafkan?
Pertama kita harus memaafkan diri kita sendiri. Seringkali orang
tidak bisa berdamai dengan diri mereka sendiri. Untuk itu, sebagai
langkah awal, maafkanlah diri Anda sendiri. Terima, syukuri keadaan
Anda, dan cintailah diri Anda apa adanya. Seringkali yang menghambat
diri kita adalah perasaan bersalah, kesedihan mendalam, kekecewaan,
kemarahan, sakit hati, dendam, takut, iri, dengki, frustrasi, dan
stres. Sadarilah bahwa diri Anda yang sekarang adalah hasil dari
proses perjalanan hidup sebelumnya. Jadi, diri Anda di masa depan
akan ditentukan oleh apa yang Anda lakukan saat ini. Semua bisa dan
akan berubah menjadi lebih baik.
Kedua, kita harus bisa memaafkan orang lain yang pernah "menyakiti"
kita. Kata "menyakiti" saya tulis dalam tAnda kutip karena sering
kali yang terjadi adalah kita salah memberikan makna atas apa yang
kita alami. Dengan kata lain seringkali apa yang kita alami
sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Peristiwa itu
menjadi "menyakitkan" karena pikiran kita salah dalam memberikan
makna dan mengakibatkan munculnya emosi negatif terhadap peristiwa
itu. Nah, yang menyakitkan adalah emosi negatif yang terus kita
rasakan karena kita melekat pada perasaan itu.
Setelah memaafkan orang lain kita perlu memaafkan masa lalu kita.
Apapun kejadian, peristiwa, situasi, atau apa saja yang pernah kita
alami di masa lalu, yang kita rasa menyakiti hati kita, perlu kita
maafkan dan lupakan.
Terakhir, kita perlu memaafkan Tuhan. Anda mungkin berpikir, "Lha,
saya ini siapa? Kok bisa-bisanya saya perlu memaafkan Tuhan. Apa
dipikir saya ini lebih hebat dari Tuhan?"
Jangan salah paham. Kita tidak ada apa-apanya dibanding dengan Tuhan.
Memaafkan Tuhan maksudnya adalah kita perlu melepas (istilah
teknisnya – release) emosi dan pemikiran negatif mengenai Tuhan.
Seringkali baik secara sadar maupun tidak sadar kita marah, kecewa,
sakit hati, dan jengkel sama Tuhan. Memang, kita nggak berani
mengungkapkan perasaan ini secara terbuka karena takut dosa. Namun
ketidakpuasan kita terhadap Tuhan tampak dalam kalimat "Nasib saya
kok seperti ini ya?", "Ya, memang sudah takdir saya seperti
ini", "Hidup adalah penderitaan", "Kemalangan dan kepahitan hidup ini
adalah cobaan dari Tuhan", dan masih banyak ungkapan "kreatif"
lainnya.
Ketidakpuasan kita terhadap Tuhan juga tampak dalam sikap kita yang
tidak bersyukur dan berterima kasih, kepada Tuhan, untuk keadaan dan
keberadaan kita. Secara tidak sadar kita sering membandingkan keadaan
kita dengan orang lain. Celakanya, saat membandingkan diri kita
dengan orang lain, yang selalu kita bandingkan adalah kekurangan kita
dengan kelebihan orang lain. Kalau sudah seperti ini, suka atau
tidak, mau jujur atau tidak, pasti muncul perasaan tidak senang di
hati kita karena melihat keadaan orang lain lebih baik dari keadaan
kita. Biasanya yang muncul adalah perasaan iri dan dengki. Iri
artinya kita susah lihat orang lain senang. Sedangkan dengki artinya
kita senang lihat orang lain susah.
Nah, setelah kita bisa memaafkan dengan tulus, apa langkah
selanjutnya? Langkah selanjutnya ya berdoa. Cuma kali ini saya minta
Anda menggunakan segenap perasaan Anda, sudah tentu perasaan positif,
syukur, terima kasih, dan pasrah dan juga ekstra hati-hati dalam
memilih kata yang Anda ucapkan saat berkomunikasi (baca: doa) dengan
Sang Hidup atau Tuhan.
Seringkali saya menemukan orang menggunakan kesempatan indah ini,
saat berkomunikasi dengan Sang Hidup atau Tuhan, untuk mengutuk orang
lain atau justru meminta Tuhan untuk menghukum orang yang tidak
mereka senangi.
Biasanya mereka akan berkata,"Saya doakan agar nanti kamu celaka.
Biarlah Tuhan yang membalas semua kejahatanmu. Saya nggak bisa
membalas kamu... ya nggak apa-apa. Tuhan punya mata dan telinga.
Tuhan maha adil dan pasti akan membalaskan semua perbuatanmu". Ini
semua nggak benar. Lha, masa Tuhan diajak kerja sama untuk melakukan
hal-hal yang negatif?
Akan sangat berbeda bila kita justru memaafkan dan mendoakan
kebahagiaan orang yang telah menyakiti kita. Bila kita mampu
melakukan hal ini dengan tulus maka efeknya terhadap hidup kita akan
sangat dahsyat dan positif. Anda nggak percaya? Silakan coba sendiri.
Saya juga sering mengamati, mencermati, dan menganalisis kata-kata
yang diucapkan orang saat mereka berdoa. Kalau doa kita samakan
dengan afirmasi maka sudah tentu kita hanya boleh mengucapkan hal-hal
positif yang dilandasi oleh perasaan atau emosi positif dan
konstruktif. Afirmasi yang menggunakan kata-kata negatif dan
diperkuat dengan emosi negatif dijamin nggak akan bisa jalan. Malah
kita yang akan mendapatkan hal-hal negatif yang kita afirmasikan. Hal
ini sejalan dengan Hukum Sebab Akibat atau Hukum Tabur Tuai. Apa pun
yang kita tabur, melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan kita akan
kembali pada kita.
Coba Anda perhatikan doa yang biasa diucapkan oleh kebanyakan orang.
Mereka seringkali mohon pada Sang Pencipta agar mereka "tidak
susah", "tidak menderita", "tidak sakit", "tidak miskin", "anaknya
tidak nakal", "usahanya tidak mengalami hambatan", "terhindar dari
cobaan", dan masih banyak "afirmasi" negatif lainnya.
Bukankah akan jauh lebih indah, powerful, dan positif bila kalimat
yang sama kita reframe menjadi "bahagia", "senang", "sehat", "kaya
dan makmur", "anaknya baik dan penurut", "usaha lancar dan
untung", "hidup lancar, aman, dan tentram"?
Bila kita hubungkan dengan level energi, seperti yang saya jelaskan
pada artikel saya sebelumnya "Energi Psikis Sebagai Akselerator
Keberhasilan", maka tampak dengan sangat jelas bahwa emosi-emosi
negatif seperti rasa malu, rasa bersalah, kesedihan mendalam, takut,
dan marah membuat kita semakin jauh dari pencerahan spiritual.
Nah, kembali pada cerita kawan saya di atas, ternyata setelah
berdiskusi cukup lama saya akhirnya mendapatkan kunci
keberhasilannya. Saya tahu mengapa ia dapat dengan sangat mudah
mencapai apa yang ia inginkan walaupun seakan-akan ia tidak pernah
memintanya melalui doa.
Lalu apa rahasianya? Ternyata kawan saya ini bercerita bahwa ia telah
berhasil mengendalikan emosi marahnya. Sudah 10 tahun ia tidak pernah
marah saat berada di kantor. Dengan kemampuan pengendalian diri dan
level kesadaran sebaik ini efeknya tentu sangat luar biasa. Saya bisa
merasakan aura yang bersih dan level serta vibrasi medan energi tubuh
yang kuat dan menenangkan. Kondisi ini berpengaruh sangat positif
pada suasana kerja di kantornya.
Kondisi ini sudah tentu sangat mempengaruhi pikirannya, khususnya
pikiran bawah sadarnya. Mengapa saya menyinggung pikiran bawah sadar?
Karena semua emosi letaknya di pikiran bawah sadar. Dan doa yang
paling cespleng adalah doa (baca: afirmasi) yang selalu diucapkan
oleh pikiran bawah sadar.
Untuk mudahnya begini. Emosi atau perasaan yang kita rasakan dan apa
yang kita ucapkan saat berdoa, dalam kondisi pikiran sadar, jika
tidak sinkron dengan pikiran bawah sadar, tidak akan bisa terkabul.
Hal yang sama juga dialami oleh seorang kawan, yang kebetulan seorang
pengusaha sukses di bidang budi daya burung walet. Kawan saya ini
merasa hidupnya sangat mudah dan lancar. Mengutip apa yang ia
katakan, "Tuhan itu sangat bermurah hati pada saya. Hidup saya
lancar, makmur, dan bahagia. Apa yang saya harapkan selalu terkabul.
Bahkan saat saya nggak mintapun tetap Tuhan kasih".
Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan mengajak Anda merenung.
Pembaca, pernahkah terpikir oleh Anda bahwa doa yang paling tulus,
yang bisa kita panjatkan pada Sang Hidup, adalah hidup kita. Benar,
hidup kita adalah doa kita yang paling khusyuk. Kualitas hidup kita
mencerminkan kualitas doa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar