Kamis, 15 Maret 2012

Rahasia Hikmah dibalik Menahan Amarah

The Magic of Prayer and Forgiveness:
oleh Adi W. Gunawan,

"If the only prayer you say in your whole life is `Thank You', that 
would suffice."~ Meister Eckhart

Sabtu pagi minggu lalu saya dijemput oleh kawan saya, salah satu 
pimpinan bank nasional papan atas, untuk bersama-sama menuju tempat 
pelatihan di luar kota Surabaya. Kawan saya ini meminta saya 
mengajarkan materi Manage Your Mind for Success untuk stafnya. Namun 
bukan materi pelatihan yang ingin saya ceritakan di artikel ini. Ada 
satu topik menarik yang sempat kami diskusikan, selama perjalanan, 
yaitu mengenai doa. 

Kawan saya ini bercerita bahwa ia telah beberapa kali berhasil 
mencapai goal-nya tanpa harus berdoa seperti orang pada umumnya. Saya 
lalu menggali lebih lanjut dan bertanya, "Kalau tidak berdoa, seperti 
kebanyakan orang, lalu apa yang Bapak lakukan?" 

"Ya itu... saya juga bingung. Saya hanya punya keinginan atau harapan 
saja. Nggak pernah berdoa sampai minta-minta sama Tuhan. Misalnya 
saat saya ingin pindah dari Jakarta ke Semarang. Saya lalu 
menyampaikan hal ini ke pimpinan saya. Permintaan saya disetujui. 
Namun setelah saya pikir-pikir lagi, akan jauh lebih baik, melihat 
peluang pasar yang ada, kalau saya pindah ke Surabaya. Nah, pas hari 
H saya mau pindah, eh.. pimpinan saya malah memindahkan saya ke 
Surabaya. Padahal saya nggak pernah ngomong kalau mau ke Surabaya 
karena saya merasa sungkan. Lha, permintaan saya kan ke Semarang," 
jelas kawan saya ini. 

Kawan saya lalu menceritakan beberapa kejadian lain yang ia alami 
yang tampaknya bersifat kebetulan saja. Apa yang ia harapkan ternyata 
benar-benar terjadi. Dan ini ia dapatkan dengan mudah. 

Nah, pembaca, sebelum saya bercerita lebih jauh saya ingin mengajukan 
beberapa pertanyaan pada anda, "Apakah anda rajin berdoa? Apakah doa 
yang anda panjatkan kepada Sang Hidup, Tuhan, atau Sang Maha 
Pencipta, sering, jarang, atau malah nggak pernah terkabul? Pernahkah 
anda bertemu dengan kawan anda yang jarang "berdoa" namun kualitas 
hidupnya jauh lebih baik dari Anda? Tuhan ini benar-benar adil atau 
nggak, sih?" 

Saya percaya 1.000% bahwa Sang Hidup, Tuhan, atau Sang Maha Pencipta 
bersifat adil seadil-adilnya. Hal ini saya imani dan saya amini 
dengan sepenuh hati. Sama sekali tidak ada keraguan dalam hati saya 
mengenai hal ini. Bagaimana dengan Anda? 

Namun, mengapa ada banyak doa yang tidak mendapat jawaban? Mengapa 
ada orang yang tampaknya nggak "spiritual" tapi kok ya hidupnya jauh 
lebih baik dari orang yang mengaku "spiritual"? 

Dulu, pertanyaan yang sama sangat mengganggu pikiran saya. Saya 
berusaha mencari jawabannya. Dan, setelah mencari cukup lama saya 
akhirnya sampai pada satu kesimpulan, yang menurut saya pribadi, 
merupakan kunci bagi doa yang cespleng. 

Saya berangkat dengan satu keyakinan bahwa Tuhan bersifat adil dan 
akan selalu menjawab setiap doa kita, seperti yang tertulis di kitab-
kitab suci, "Ketuklah maka pintu akan dibukakan", "Mintalah kepadaKU 
niscaya akan Aku berikan." 

Pertanyaannya adalah "pintu" mana yang harus kita ketuk dan bagaimana 
kita meminta (baca: berdoa) dengan benar? 

Pintu memang harus diketuk dan dibuka. Pintu yang dimaksud di sini 
adalah pintu hati (nurani) kita. Dan yang harus mengetuk dan 
membukanya adalah kita sendiri. Pintu hati dibuka dari dalam, oleh 
diri kita sendiri, bukan oleh orang lain dari sebelah luar. Banyak 
orang yang salah mengartikan "Ketuklah maka pintu akan dibukakan" 
dengan berharap bahwa akan ada "seseorang" yang akan membukakan pintu 
itu bagi mereka. Lebih parah lagi kalau kita sampai berpikir bahwa 
adalah tugas orang lain untuk mengetuk pintu hati kita. 

Lalu, bagaimana dengan pernyataan "Mintalah kepadaKU niscaya akan Aku 
berikan"? Saya melihat banyak yang salah mengartikan pernyataan ini. 
Benar kita bisa atau boleh berdoa dan memohon/meminta kepada Yang 
Kuasa. Namun mengapa seringkali doa kita tidak terjawab? Pasti ada 
yang kurang pas atau salah dengan cara kita meminta, kan? 

Ada dua tahap yang harus diperhatikan agar doa kita bisa benar-benar 
cespleng. Bicara mengenai doa sebenarnya bukan hanya menyangkut apa 
yang kita panjatkan atau ucapkan. Bila kita berdoa, yang paling 
berpengaruh, saya ulangi dan tekankan, yang paling berpengaruh, 
adalah suasana hati atau perasaan kita, bukan kata-kata yang kita 
susun dengan sedemikian indah seperti syair. Doa masuk dalam ranah 
rasa/afeksi bukan semata-mata urusan kognisi. 

Langkah pertama, sebelum kita bisa berdoa dengan baik, benar, dan 
tulus adalah dengan membersihkan hati dan pikiran kita dari muatan-
muatan emosi negatif. Bagaimana caranya? Dengan membuka pintu maaf 
selebar-lebarnya. Dengan memaafkan. 

Memaafkan mengandung makna kita melepas semua beban pikiran, semua 
luka batin atau pengalaman traumatik dari masa lalu, semua perasaan 
diri kotor dan tidak berharga, ketakutan, iri-dengki, kemarahan, dan 
berbagai emosi negatif lainnya. 

Setelah kita mampu memaafkan barulah kita melanjutkan ke langkah 
kedua yaitu kita harus yakin dan percaya bahwa Sang Hidup, Tuhan, 
atau Sang Maha Pencipta telah menyediakan apapun yang kita perlukan, 
dan saat ini kita telah mendapatkannya. Jadi, ini sebenarnya sama 
seperti saat kita melakukan afirmasi atau visualisasi. Yakinlah kalau 
apa yang kita impikan atau inginkan sudah berhasil kita raih. 

Kapan doa kita dikabulkan? Nah, kalau yang ini urusan Yang Atas. 
Semua butuh proses. Kita nggak bisa main paksa. Semua ada waktunya. 
Intinya, kita perlu mengembangkan perasaan yakin, syukur, dan pasrah 
bahwa semua hal yang baik akan terjadi dalam hidup kita. 

Apa dan siapa saja yang perlu kita maafkan? 

Pertama kita harus memaafkan diri kita sendiri. Seringkali orang 
tidak bisa berdamai dengan diri mereka sendiri. Untuk itu, sebagai 
langkah awal, maafkanlah diri Anda sendiri. Terima, syukuri keadaan 
Anda, dan cintailah diri Anda apa adanya. Seringkali yang menghambat 
diri kita adalah perasaan bersalah, kesedihan mendalam, kekecewaan, 
kemarahan, sakit hati, dendam, takut, iri, dengki, frustrasi, dan 
stres. Sadarilah bahwa diri Anda yang sekarang adalah hasil dari 
proses perjalanan hidup sebelumnya. Jadi, diri Anda di masa depan 
akan ditentukan oleh apa yang Anda lakukan saat ini. Semua bisa dan 
akan berubah menjadi lebih baik. 

Kedua, kita harus bisa memaafkan orang lain yang pernah "menyakiti" 
kita. Kata "menyakiti" saya tulis dalam tAnda kutip karena sering 
kali yang terjadi adalah kita salah memberikan makna atas apa yang 
kita alami. Dengan kata lain seringkali apa yang kita alami 
sebenarnya bukanlah sesuatu yang menyakitkan. Peristiwa itu 
menjadi "menyakitkan" karena pikiran kita salah dalam memberikan 
makna dan mengakibatkan munculnya emosi negatif terhadap peristiwa 
itu. Nah, yang menyakitkan adalah emosi negatif yang terus kita 
rasakan karena kita melekat pada perasaan itu. 

Setelah memaafkan orang lain kita perlu memaafkan masa lalu kita. 
Apapun kejadian, peristiwa, situasi, atau apa saja yang pernah kita 
alami di masa lalu, yang kita rasa menyakiti hati kita, perlu kita 
maafkan dan lupakan. 

Terakhir, kita perlu memaafkan Tuhan. Anda mungkin berpikir, "Lha, 
saya ini siapa? Kok bisa-bisanya saya perlu memaafkan Tuhan. Apa 
dipikir saya ini lebih hebat dari Tuhan?" 

Jangan salah paham. Kita tidak ada apa-apanya dibanding dengan Tuhan. 
Memaafkan Tuhan maksudnya adalah kita perlu melepas (istilah 
teknisnya – release) emosi dan pemikiran negatif mengenai Tuhan. 
Seringkali baik secara sadar maupun tidak sadar kita marah, kecewa, 
sakit hati, dan jengkel sama Tuhan. Memang, kita nggak berani 
mengungkapkan perasaan ini secara terbuka karena takut dosa. Namun 
ketidakpuasan kita terhadap Tuhan tampak dalam kalimat "Nasib saya 
kok seperti ini ya?", "Ya, memang sudah takdir saya seperti 
ini", "Hidup adalah penderitaan", "Kemalangan dan kepahitan hidup ini 
adalah cobaan dari Tuhan", dan masih banyak ungkapan "kreatif" 
lainnya. 

Ketidakpuasan kita terhadap Tuhan juga tampak dalam sikap kita yang 
tidak bersyukur dan berterima kasih, kepada Tuhan, untuk keadaan dan 
keberadaan kita. Secara tidak sadar kita sering membandingkan keadaan 
kita dengan orang lain. Celakanya, saat membandingkan diri kita 
dengan orang lain, yang selalu kita bandingkan adalah kekurangan kita 
dengan kelebihan orang lain. Kalau sudah seperti ini, suka atau 
tidak, mau jujur atau tidak, pasti muncul perasaan tidak senang di 
hati kita karena melihat keadaan orang lain lebih baik dari keadaan 
kita. Biasanya yang muncul adalah perasaan iri dan dengki. Iri 
artinya kita susah lihat orang lain senang. Sedangkan dengki artinya 
kita senang lihat orang lain susah. 

Nah, setelah kita bisa memaafkan dengan tulus, apa langkah 
selanjutnya? Langkah selanjutnya ya berdoa. Cuma kali ini saya minta 
Anda menggunakan segenap perasaan Anda, sudah tentu perasaan positif, 
syukur, terima kasih, dan pasrah dan juga ekstra hati-hati dalam 
memilih kata yang Anda ucapkan saat berkomunikasi (baca: doa) dengan 
Sang Hidup atau Tuhan. 

Seringkali saya menemukan orang menggunakan kesempatan indah ini, 
saat berkomunikasi dengan Sang Hidup atau Tuhan, untuk mengutuk orang 
lain atau justru meminta Tuhan untuk menghukum orang yang tidak 
mereka senangi. 

Biasanya mereka akan berkata,"Saya doakan agar nanti kamu celaka. 
Biarlah Tuhan yang membalas semua kejahatanmu. Saya nggak bisa 
membalas kamu... ya nggak apa-apa. Tuhan punya mata dan telinga. 
Tuhan maha adil dan pasti akan membalaskan semua perbuatanmu". Ini 
semua nggak benar. Lha, masa Tuhan diajak kerja sama untuk melakukan 
hal-hal yang negatif? 

Akan sangat berbeda bila kita justru memaafkan dan mendoakan 
kebahagiaan orang yang telah menyakiti kita. Bila kita mampu 
melakukan hal ini dengan tulus maka efeknya terhadap hidup kita akan 
sangat dahsyat dan positif. Anda nggak percaya? Silakan coba sendiri. 

Saya juga sering mengamati, mencermati, dan menganalisis kata-kata 
yang diucapkan orang saat mereka berdoa. Kalau doa kita samakan 
dengan afirmasi maka sudah tentu kita hanya boleh mengucapkan hal-hal 
positif yang dilandasi oleh perasaan atau emosi positif dan 
konstruktif. Afirmasi yang menggunakan kata-kata negatif dan 
diperkuat dengan emosi negatif dijamin nggak akan bisa jalan. Malah 
kita yang akan mendapatkan hal-hal negatif yang kita afirmasikan. Hal 
ini sejalan dengan Hukum Sebab Akibat atau Hukum Tabur Tuai. Apa pun 
yang kita tabur, melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan kita akan 
kembali pada kita. 

Coba Anda perhatikan doa yang biasa diucapkan oleh kebanyakan orang. 
Mereka seringkali mohon pada Sang Pencipta agar mereka "tidak 
susah", "tidak menderita", "tidak sakit", "tidak miskin", "anaknya 
tidak nakal", "usahanya tidak mengalami hambatan", "terhindar dari 
cobaan", dan masih banyak "afirmasi" negatif lainnya. 

Bukankah akan jauh lebih indah, powerful, dan positif bila kalimat 
yang sama kita reframe menjadi "bahagia", "senang", "sehat", "kaya 
dan makmur", "anaknya baik dan penurut", "usaha lancar dan 
untung", "hidup lancar, aman, dan tentram"? 

Bila kita hubungkan dengan level energi, seperti yang saya jelaskan 
pada artikel saya sebelumnya "Energi Psikis Sebagai Akselerator 
Keberhasilan", maka tampak dengan sangat jelas bahwa emosi-emosi 
negatif seperti rasa malu, rasa bersalah, kesedihan mendalam, takut, 
dan marah membuat kita semakin jauh dari pencerahan spiritual. 

Nah, kembali pada cerita kawan saya di atas, ternyata setelah 
berdiskusi cukup lama saya akhirnya mendapatkan kunci 
keberhasilannya. Saya tahu mengapa ia dapat dengan sangat mudah 
mencapai apa yang ia inginkan walaupun seakan-akan ia tidak pernah 
memintanya melalui doa. 

Lalu apa rahasianya? Ternyata kawan saya ini bercerita bahwa ia telah 
berhasil mengendalikan emosi marahnya. Sudah 10 tahun ia tidak pernah 
marah saat berada di kantor. Dengan kemampuan pengendalian diri dan 
level kesadaran sebaik ini efeknya tentu sangat luar biasa. Saya bisa 
merasakan aura yang bersih dan level serta vibrasi medan energi tubuh 
yang kuat dan menenangkan. Kondisi ini berpengaruh sangat positif 
pada suasana kerja di kantornya. 

Kondisi ini sudah tentu sangat mempengaruhi pikirannya, khususnya 
pikiran bawah sadarnya. Mengapa saya menyinggung pikiran bawah sadar? 
Karena semua emosi letaknya di pikiran bawah sadar. Dan doa yang 
paling cespleng adalah doa (baca: afirmasi) yang selalu diucapkan 
oleh pikiran bawah sadar. 

Untuk mudahnya begini. Emosi atau perasaan yang kita rasakan dan apa 
yang kita ucapkan saat berdoa, dalam kondisi pikiran sadar, jika 
tidak sinkron dengan pikiran bawah sadar, tidak akan bisa terkabul. 

Hal yang sama juga dialami oleh seorang kawan, yang kebetulan seorang 
pengusaha sukses di bidang budi daya burung walet. Kawan saya ini 
merasa hidupnya sangat mudah dan lancar. Mengutip apa yang ia 
katakan, "Tuhan itu sangat bermurah hati pada saya. Hidup saya 
lancar, makmur, dan bahagia. Apa yang saya harapkan selalu terkabul. 
Bahkan saat saya nggak mintapun tetap Tuhan kasih". 

Saya ingin mengakhiri artikel ini dengan mengajak Anda merenung. 
Pembaca, pernahkah terpikir oleh Anda bahwa doa yang paling tulus, 
yang bisa kita panjatkan pada Sang Hidup, adalah hidup kita. Benar, 
hidup kita adalah doa kita yang paling khusyuk. Kualitas hidup kita 
mencerminkan kualitas doa kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar